-->

Rabu, 20 November 2013

Cuplikan Novel Singgasana Keramat : Pusaka Sengketa Bab 2 Oleh : Budiya Ryandhika Rahman

                                            2.    PESAN DARI RUSA BERSAYAP
         Siang hari yang begitu terik. Memanggang jalan-jalan beraspal seperti memanggang sepotong ikan Nila tanpa ampun di balik besi-besi pipih. Kendaraan bermotor berseliweran bergantian di lintasan jalanan yang begitu panas. Puluhan petugas parkir dengan segala kesusah payahannya terus mengatur sistem keluar masuk kendaraan. Sesekali mereka melap keringat yang mengucur dari mukanya dengan topi atau rompi orange-nya. Peluit-peluit saling susul menyusul memberikan suara cemprengnya, berharap mendapatkan lembaran-lembaran Rupiah dari itu, setidaknya hanya itu yang bisa mereka lakukan.
        Saat itu padahal telah hampir sore, sekitar pukul 3 lewat. Suasana di kawasan itu memang sangat ramai di jam-jam seperti ini hingga malam hari. Tak salah jika warga Palangka Raya menyebutnya pasar besar, karena semua yang diperlukan tersedia di pasar ini. Dan di jam-jam seperti itu, biasanya para pedagang mulai sibuk menggelar dagangannya.

 
     Puluhan bahkan ratusan gerobak besar beraneka muatan memenuhi sepanjang rute pasar. Para pedagang memang menyimpan barang dagangannya di dalam subuah atau bahkan beberapa buah gerobak besar yang setiap kali mau membuka dagangan, gerobak tersebut di dorong dari tempat penyimpanannya ke tempat atau lokasi tempat berdagang mereka. Tidak luas, mungkin lebih kecil dari sebuah kamar tidur sederhana. Karena itu pula biasanya para pengunjung pasar harus berdesak-desakkan untuk mencari barang yang mereka inginkan. Selain itu, jalan umum yang ada di situ juga sangat sempit, kalau kau berjalan sambil meregangkan kedua tanganmu, kau tentu tahu bagaimana sempitnya. Namun, meski begitu, pasar ini tetap menjadi tempat favorit sebagian besar warga Palangka Raya saat mencari barang, terutama pakaian. Karena kau tak bisa melakukan tawar menawar harga serendah mungkin seperti di pasar ini apabila di mall atau di butik.
            Uniknya, pasar ini juga memiliki tiga nama yang berbeda. Pasar besar mungkin menjadi nama yang sesuai dengan statusnya sebagai pasar terbesar di provinsi Kalimantan Tengah, selain itu ada nama pasar bawah untuk menyebut tempat ini, entah mungkin karena pasar ini sering tergenang air apabila ada hujan lebat yang berlangsung cukup lama. Namun di antara semua itu, Pasar Blauran adalah nama yang paling familiar bagi warga, entah apa yang melatar belakangi pemberian nama seperti itu, yang jelas, nama Pasar Blauran lebih sering digunakan menyebut pasar ini ketika jam sore sampai jam malam hari.
          Meskipun saat ini masih menjelang sore, sudah ada juga pedagang yang telah menyelesaikan membuka tempat dagangannya. Dan juga telah banyak pula para pengunjung yang mulai berjalan pelan dan agak berdesakan melewati lapak demi lapak para pedagang di pasar tersebut.
            Dalam sebuah desak-desakkan tersebut, sebelah tangan dengan hati-hati dan waspada  meraba saku celana seorang pengunjung pasar yang sedang ikut berjejal melewati beberapa pedagang. Tangan tersebut perlahan-lahan masuk ke dalam saku yang tadi dirabanya. Dan dengan gesit mengeluarkan sebuah dompet tebal berwarna cokelat tua, secepat kilat tangan tersebut mengamankan dompet tersebut. Beberapa detik kemudian, tangan tersebut sudah tak kelihatan lagi, betul-betul pergerakan yang sangat cepat dan terencana dengan baik. Seseorang yang sakunya diraba tadi agak curiga, ia menoleh dengan cepat ke belakangnya, ia seorang laki-laki dengan kumis tipis dan kacamata tebal. Bodohnya lagi, ia sama sekali tak mencoba untuk memeriksa saku celananya, setelah ia merasa tak ada yang mencurigakan, ia kembali ikut berjalan perlahan. Sudah dibayangkannya sepasang baju superhero untuk kedua putra kembarnya. Laki-laki yang malang.
              Tidak cukup jauh dari tempat itu, seorang remaja laki-laki. Duduk dengan muka sumringah di sebuah pelataran toko yang tak terpakai dan juga tak terawat. Tak ada yang ingin melewati toko yang menyedihkan itu, setidaknya ketika remaja itu berada di situ. Dan hal itu tentu saja membuat sang remaja merasa lebih baik.
               Ia kemudian mengeluarkan sebuah dompet tebal berwarna cokelat tua yang baru ia dapatkan dari saku celana seorang pria yang baik hati – kalau tak ingin dikatakan bodoh – buah tangannya yang pertama di hari ini. Dikeluarkannya seluruh isi dari dompet itu satu persatu. Ada beberapa kartu nama sang pemilik dompet, ATM, KTP, SIM, STNK Mobil dan Sepeda motor, dan beberapa lembar foto. Foto pertama adalah foto seorang wanita cantik, berambut hitam kemilau, tingginya sedang, berkulit putih dan bermata hitam kelabu seperti dirinya. Foto kedua adalah foto wanita juga, wanita yang bebeda, kali ini wanita di foto itu berkulit lebih putih daripada foto wanita pertama, namun lebih sendu. Rambutnya sedikit merah. Dan memiliki hidung yang lebih pesek. Foto selanjutnya adalah foto dua orang bocah kembar lucu, ia menaksir umur keduanya adalah tak kurang dari 5 tahun. Dua-duanya laki-laki. Memperlihatkan keduanya sedang tersenyum memperlihatkan gigi-gigi mereka yang masih kecil, dan masing-masing memegang senjata mainan, yang satu memegang pedang plastik berkilau, sedangkan yang satunya lagi memegang panah-panahan. Ia tahu pasti kedua mainan tersebut adalah buatan cina. Dan foto terakhir adalah foto seorang bayi laki-laki mungkin berusia sekitar 8 bulanan, matanya sangat mirip dengannya dan wanita di foto pertama, rambut tipis berwarna hitam pekat, ia seakan-akan melihat dirinya sendiri dalam foto bayi itu. Tapi kemudian ia tertawa dalam hati, dunia ini selalu dipenuhi dengan kemiripan-kemiripan yang menggelikan. Beberapa detik kemudian, ia langsung melupakan foto-foto dalam dompet itu ketika yang ia cari telah ditemukannya, ada beberapa lembar uang ratusan ribu rupiah, dua lembar uang lima puluh ribu rupiah, tiga lembar uang sepuluh ribu rupiah, dan beberapa lembar uang lima ribuan dan seribu rupiah. Ia mengambil sebagian dari seluruh uang tersebut, ia ingin mengambil ATM itu, tapi ia bersumpah, ia belum pernah berurusan dengan mesin pemberi uang itu seumur hidupnya, dan itu tentu sebuah kesulitan jika ia mengambil ATM itu. Akhirnya hanya sebagian uang itu yang ia masukkan ke dalam sakunya. Foto-foto, kartu-kartu, surat berharga, dan sebagian uang, ia masukkan kembali ke tempat asalnya di dalam dompet itu.
      Ia dengan langkah yakin mulai mencari mushalla terdekat, dan ketika tak ada yang mengawasinya, ia akan menaroh, atau lebih tepat menggeletakkannya di dekat pintu mushalla. Berharap para jamaah mengira bahwa ada suatu kecelakaan menyebalkan yang menyebabkan seseorang kehilangan dompetnya secara tak sengaja di depan mushalla.
Pekerjaan menyenangkan yang ditekuninya bertahun-tahun. Ia cukup bangga dengan kelihaiannya itu, toh ia masih menyisakan ‘hasil kerja kerasnya’ itu untuk pria tadi – kalau pria tadi beruntung mendapatkan dompetnya kembali. Ia masih lebih baik daripada yang mengambil semuanya. Langkah yakinnya kali ini berlanjut, ke arah yang ia pun belum tahu pasti. Yang pasti ia yakin dengan langkahnya. Dan itu awal yang bagus.
…………………………………………………………………………………………..
…………………………………………………………………………………………..
       “Menghitung penghasilanmu?” Seorang pemuda tanggung duduk di samping pemuda yang sedang menghitung sejumlah uang.
          “Lumayan juga, kau..” Pemuda itu berkata lagi, kali ini sambil menyulut rokok.
            Pemuda yang diajaknya berbicara tak menyahut.
            “Sudah makan, kau?”
            Pemuda yang menghitung uang itu menatap temannya sambil tersenyum, “Kau mau makan?”
           “Hahahaha! Kau pikir rokok ini bisa membuatku kenyang..”
        “Berhentilah merokok, kawan. Aku tak tega melihat paru-parumu terpilin-pilin asap rokokmu itu”
       Pemuda yang merokok itu, menghembuskan asap rokok dari mulutnya dengan tenang. “Kau yang harusnya ikut merokok. Bukan pria sejati kau”
        “Hei, aku hanya kasihan dengan paru-paruku. Jaga kesehatanmu, Sutha.”
       “Bayu, Bayu… Aku ini pencopet, kau juga begitu. Kita ini ada di dunia kriminalitas. Masa’ para pelaku kriminalitas tidak merokok.”
      “Tapi para pelaku kriminalitas khan juga perlu merawat kesehatannya. Kau pikir kita mencopet untuk apa? Untuk makan, khan? Makan untuk apa? Untuk hidup dan sehat khan? Tapi kau malah menyia-nyiakannya.”
      “Pencopet kok ngomongin kesehatan. Apa kau berencana, setelah kaya dengan hasil mencopet, kau akan mendaftar menjadi salah satu mahasiswa kedokteran? Hahahaha! Sudahlah, Bayu. Tidak ada sejarahnya seorang pencopet memperingatkan pencopet lainnya untuk menjaga kesehatan dari rokok.”
      “Kalau begitu, sejarahnya di mulai dari sekarang.”
       Sutha menatap Bayu dengan cemberut. “Sudahlah. Tadi aku bertemu Anandita. Katanya ia ingin bertemu kamu, mungkin ada yang ingin dikatakannya padamu. Aku mau mandi dulu. Dan ingat, kulihat hasil tangkapanmu banyak hari ini. Aku sudah kangen mau makan mie ayam.”
      Sutha berlalu begitu saja meninggalkan Bayu. Bayu merebahkan tubuhnya di atas kasur yang dari tadi menjadi alas duduknya. Memandangi langit-langit kamar di barak yang dikontraknya dari 4 bulan lalu itu. Di dinding kamarnya, terpampang fotonya dan beberapa foto teman-temannya. Juga ada beberapa poster yang didapatkannya dari teman-temannya. Sebuah pesawat televisi berukuran 16 inci. Lemari pakaian, beberapa buku-buku semasa ia masih sekolah. Dan barang tak berharga lainnya yang mengisi sisi-sisi sempit kamar baraknya itu.
    Ia hanya sendiri menempati barak kontrakan ini. Tidak bersama siapa-siapa, Sutha, teman seprofesinya itu hanya sesekali mengunjunginya. Memang ironis sebenarnya, ia masih 17 tahun, tapi telah harus hidup sendiri. Putus sekolah dua tahun lalu, orang tua yang hilang secara misterius, ia hidup tanpa arah selama beberapa minggu, sebelum akhirnya bertemu beberapa orang pencopet yang akhirnya menjadi temannya dan mengajarinya cara bertahan hidup.
     Dalam hati ia memaki kedua orang tuanya, hal yang dilakukannya setiap saat ketika mengingat dua orang dewasa yang tak bertanggung jawab itu. Ia dulu punya rumah, tapi rumah itu telah disita Bank, karena ayahnya memiliki hutang yang tak dapat dibayarnya dalam tenggat waktu yang telah ditetapkan.
      Telah dua tahun ia menjadi pencopet, ia bahkan telah dianggap sebagai pencopet paling handal diantara teman-temannya. Selama dua tahun mencopet tanpa pernah sekalipun ditangkap polisi adalah suatu hal yang sangat hebat, dan usianya yang baru 17 tahun merupakan nilai plus yang tak dapat disepelekan.
     Ia pernah melihat dengan mata kepalanya sendiri bagaimana ketika salah seorang temannya berhasil dibekuk polisi ketika sedang menjalankan pekerjaannya. Temannya itu nyaris tanpa bentuk lagi akibat dihajar massa. Ia sangat takut ketika itu, ia langsung pulang ke kosnya mengemasi barangnya dan pindah saat itu juga, dengan alasan tanah warisan di kampungnya telah diberikan kepadanya, dan ia akan mencoba agrobisnis dan memulai penghidupan baru di sana, itulah yang diutarakannya kepada Ibu kos yang menepuk bahunya dengan haru, dan mengatakan kalau ia berharap putranya yang hobi main billiard itu akan mengikuti jejaknya.
     Ia sempat shock dengan kejadian itu dan ingin berhenti mencopet. Tapi ia terlanjur menyukai pekerjaannya ini. Dan akhirnya ia memutuskan untuk tetap menjadi pencopet yang ia sendiri tidak tahu sampai kapan.
       Lamunannya buyar ketika didengarnya pintu baraknya diketuk. Ia lebih memilih untuk mengintip dari jendela dulu sebelum menerima kejutan yang mungkin akan dia sesali sepanjang umurnya. Seorang gadis berambut panjang hitam berdiri di depan pintunya. Ia tentu cukup mengenal gadis itu. Dan itu pula yang membuatnya membukakan pintu untuk gadis itu.
     Seperti yang telah dijelaskan tadi, gadis itu berambut hitam yang panjang. Dan ketika ia masuk ke barak kontrakan itu penjelasannya jadi lebih detail. Ia cukup manis dengan bando berwarna biru laut menyangkut di rambutnya. Kulitnya agak sawo matang yang cerah, mengenakan kaos berwarna hijau lengan panjang dan celana jeans panjang. Di pergelangan tangan kanannya bergantung sebuah gelang karet cerah berwarna kunig dan orange.
     Tanpa dipersilakan Bayu ia telah duduk dengan santai di lantai.
    “Habis dari mana kau, Anandita?” Bayu ikut duduk di depan Anandita.
    “Kau takkan percaya jika aku ceritakan.” Jawab Anandita serius.
    “Bagus. Sekarang aku telah percaya.” Bayu merengut.
    “Kau harus mendengarkan aku baik-baik.” Anandita masih tak kehilangan tampang seriusnya.
    “Sepertinya penting sekali. Apa ini yang membuat kau kemari seperti kata Sutha?”
    “Oh, iya. Tadi aku ketemu dia tak sengaja saat aku membelikan ibuku obat batuk.”
    “Kupikir dia harus segera ke rumah sakit, Anandita.” Kata Bayu simpatik.
    “Ya. Aku telah menyuruhnya beberapa kali. Tapi bukan itu yang ingin aku katakan padamu, Bayu.”
    “Oh, syukurlah.”
    “Aku tadi pagi bertemu seorang pria tua yang janggutnya cukup lebat, Bayu.”
   “ Oh. Betapa pentingnya, sampai aku merasa sangat ketakutan.”
   “Bayu, aku belum selesai. Pria tua itu mengatakan sesuatu kepadaku, sesuatu yang membuatku takut.”
  “Memang apa yang dikatakannya padamu? Apakah seperti ini ‘Anandita aku akan memperingatkamu kalau kau harus berhati-hati, karena aku bisa melihat kalau di kolong tempat tidurmu ada makhluk halus yang dengan akan dengan senang hati mencekimu.”
  “Bayu, ini bukan seperti yang kau bayangkan. Pria tua itu memberitahuku sesuatu yang mirip dengan sebuah ramalan, ramalan tentang dirimu!”
  “Ramalan? Tentang diriku?”
     Bayu tercekat. Ia memang tak terlalu mempercayai hal itu, namun ia telah beberapa kali menonton film Harry Potter. Dan dari film itu ia bisa memabayangkan kalau sebagian dari ramalan itu adalah sesuatu yang sama sekali tak membuatmu lebih baik.
    “Ya. Sebuah ramalan.” Wajah Anandita tampak semakin serius.
Bayu terdiam sejenak. Ia cukup bimbang menentukan apakah harus percaya atau tidak. Selama ini ia hidup dalam kenyataan, kenyataan bahwa ia harus menghadapi hidup ini sendirian. Kenyataan bahwa orang tuanya sama sekali tak pernah berusaha mencari keberadaannya. Sekarang Anandita muncul membawa kabar tentang sebuah ramalan. Ia sepertinya tak punya alasan untuk mempercayai itu.
    “Menurutmu ramalan apa? Apakah pria tua itu meramalkan aku akan tertangkap ketika melakukan aksiku? Oh, menyenangkan sekali, tampaknya.” Bayu memalingkan wajahnya.
   “Berhentilah menyepelekan. Ramalan ini tampaknya jauh lebih menakutkan daripada kau harus ditangkap!”
     Kali ini Bayu menatap Anandita, dan Anandita juga menatap wajahnya. Mereka bertemu pandang. Namun keduanya tampak tak terlalu siap dengan hal itu. Bayu menunduk sedikit, sementara Anandita memilih memperbaiki bandonya yang sebenarnya tak punya alasan apa-apa untuk diperbaiki.
     “Baiklah.” Kata Bayu, “Ceritakan padaku apa kata pria tua itu.”
      Untuk pertama kalinya sejak memasuki tempat itu, Anandita tersenyum. Senyum yang sama sekali tak tampak kalau ia sedang senang. Tapi lebih kepada pernyataan akhirnya kau menanyakan ini.
    “Bayu, Pria Tua itu mengatakan kalau temanku yang bernama Bayu Aditya tidak boleh keluar rumah dalam dua hari ini atau dia akan mendapatkan kesulitan yang tak dapat ditanggung oleh seluruh hidupnya.”
    “Menarik sekali. Rupanya aku telah menjatuhkan KTP-ku tepat di depannya hingga ia bahkan dapat menyebutkan nama lengkapku dengan lancar.”
     Anandita menggengam tangan Bayu, “Dengarkan aku, Bodoh! Kau tentu tak ingin mendapatkan kesulitan, bukan? Dan aku percaya kalau ia bukan pria sembarangan, belum sempat aku mencerna kata-katanya, ia telah menghilang entah ke mana. Kau tahu menghilang maksudku, khan?”
    “Anandita. Aku tidak akan kenapa-kenapa. Dan percayalah, ia hanyalah pria bodoh dengan kumis dan jenggot palsu yang akan mengagetkanmu saat kau pulang nanti dengan seruan penuh kemenangan ‘ketipu, kau!’”
    “Bayu. Aku serius, lagian apa beratnya, sih, tak keluar rumah selama dua hari ini saja?” Anandita tampaknya masih belum menyerah.
    “Aku punya dua jawaban untuk menjawab pertanyaanmu. Pertama karena aku hari ini berhutang satu janji menraktir Sutha makan, yang kedua adalah aku tak percaya dengan pria tua yang sangat perhatian padaku itu. Dan kalau kau pulang nanti lalu bertemu dia, aku nitip ucapan terima kasih untuknya. Dan aku tampaknya belum membutuhkan perhatiannya untuk sekarang ini.”
    “Bayu, Aku…”
    Anandita memutus ucapannya ketika ia melihat Sutha yang memergoki tangannya dan tangan Bayu sedang bergenggaman.
     “Oh, Sori. Sepertinya aku terlalu cepat keluar, ya? Dan harusnya harusnya aku membiarkan kalian berdua untuk sementara waktu.” Ucap Sutha dengan wajah yang sulit untuk Bayu berusaha bertahan agar tidak menonjok mukanya.
“    oh. Tidak apa-apa! Kami tidak melakukan apa-apa. Seperti yang kau kira.” Sahut Bayu cepat sambil melepaskan genggaman tangan Anandita.
    “Oh. Benarkah? Tapi ngomong-ngomong, apa urusanku?” kata Sutha lagi masih dengan wajah yang penuh senyum mengejek, kena, kau.
      Bayu hamper saja bersumpah kalau ia akan menumpahkan semangkok mie ayam panas ke muka Sutha apabila Anandita tidak membuyarkan rencana sumpah mengerikannya.
      “Bayu. Kuharap kau berubah pikiran.” Bisik Anandita hampir tak terdengar Bayu. Dan Sutha pun sepertinya tak mendengar, ia sibuk menyisir rambut keritingnya sambil menyiulkan lagu yang hanya ia sendiri yang tahu.
     “Bayu, Sutha. Sepertinya aku harus pulang. PR-ku banyak sekali. Dan aku juga tak tega bila ibuku harus menutup warungnya sendirian. Aku pamit, ya” Kata Anandita, masih ada nada tidak puas dalam ucapannya.
    “Kupikir Bayu mau membantu, iya khan, Bayu?” Tawar Sutha tanpa berpikir suatu hal yang buruk setelah ia  mengucapkan itu.
   Bayu telah memandang Sutha. Bersiap untuk membunuhnya beberapa kali jika ia tak segera menjauh dari tempat itu. Dan untungnya, Sutha baru saja menyadari hal itu.
    “Hei. Aku baru ingat aku meninggalkan rokokku di kamar mandi. Kalian tahu, khan, aku sering merokok di kamar mandi. Kebiasaan buruk memang, tapi…” Ia merasa telah terlalu banyak berbicara ketika Bayu telah menggeliatkan lehernya beberapa kali. “Aku harus segera mengambilnya. Terutama jika kau merasa ada ancaman buruk yang siap menyiksamu, Anandita”
     Setelah itu ia dengan langkah cepat menuju kamar mandi.
    Anandita untuk kedua kalinya dalam beberapa jam terakhir tersenyum. Senyum yang sedikit cemas.
    “Bayu, aku pulang.”
     ‘Ya. Aku akan mengantarkanmu sampai depan pintu.”

 .....................................................................................................
................................................................................................................................

     “Apa nama kota ini?” Tanya seorang pria separuh baya yang mengenakan kemeja berwarna ungu. Ia tampak aneh dengan kemeja itu karena mengancingnya sampai ke leher.
     “Palangka Raya.” Jawab seorang pria lain yang memegang gulungan mirip peta.
     “Seumur hidupku, aku belum pernah menjelajahi kota ini. Dan segera setelah tugas ini selesai, aku akan menjelajahi kota ini sampai tak menyisakan sudut kecilnya.” Kata pria lain begitu bernafsu.
    “Kalau kau ingin segera menyelesaikan tugas ini, ayo kita segera menemukan Ganendra Abimana.” Pria yang membawa peta itu menyahut sambil memandang ke sekitarnya.
      14 Pria itu langsung berjalan beriringan menyebrangi jalan raya. Dengan pria yang menggunakan peta memimpin di depan.
     “Kau yakin kita akan menemukannya di sini, Gama?” Tanya salah seorang robongan itu.
     “Entahlah, semoga saja kita menemukannya di sini.” Jawab Pria yang membawa peta sambil terus berjalan.
      “Di mana tepatnya?”
      “Jangan berdiskusi di sini, Nak. Seharusnya kita mencari tempat yang lebih bagus. Kota ini begitu panas.” Saran Pria yang paling tua sambil menggerutu dan menyapu rambut putihnya.
    “Anda benar, Gusti Senopati. Kita harus mencari tempat yang nyaman terlebih dahulu sebelum memutuskan langkah selanjutnya.” Gama menyetujui pendapat pria yang paling tua itu.
      Mereka berjalan tanpa kata, hanya sesekali menyumpah dengan pelan tentang panasnya cuaca siang itu. Bahkan seorang penyihir pendek yang ikut dalam rombongan itu yang bernama Samira bersumpah kalau ada yang ingin menukar tongkat sihirnya dengan topi atau apa saja yang bisa melindunginya dari sengatan matahari ia akan senang hati menyetujuinya. Mereka memang dilarang Ratu Ayunda yang memerintahkan mereka dalam misi ini untuk tidak menggunakan kekuatan supranatural mereka kalau tidak mendesak.
      Setelah sekitar 20 menit berjalan sambil tak henti mengutuk dewa matahari dalam hati, mereka akhirnya tiba di sebuah pos ronda yang tampaknya tidak terpakai lagi. Hampir tak ada rumah dalam radius 200 meter dari situ. Mereka memutuskan untuk beristirahat dan memutuskan langkah selanjutnya di tempat itu. Walaupun jumlah mereka ada 14 orang yang membuat mereka berjejal di tempat itu dan Samira yang berkali-kali mendesak Senopati Tarkas agar memberikannya izin untuk menyihir tempat itu agar menjadi lebih luas, mereka tetap bertahan dalam keadaan yang tak menyenangkan itu, tentunya tanpa sihir.
      Setelah sekitar sepuluh menit beristirahat, mereka mulai mengatur rencana selanjutnya.
    “Tadana, kau yakin di kota ini kita akan menemukannya?” Tanya Gama kepada penyihir yang menggunakan kemeja ungu dengan kancing aneh.
      “Bagaimana detailnya?” Tanya seorang prajurit bernama Nonda.
      “Ada berkas hijau zamrud di pandangan batinku!” Jawab Tadana sambil memejamkan matanya.
      “Maksudmu?”
      “Aku juga tak tahu pasti, yang jelas batin sihirku mengatakan hal itu.”
      “Kenapa kau tak bilang dari awal?” Sesal salah seorang prajurit. “Kita telah melewati banyak kota dengan hasil yang nihil.”
      “Prajurit Bodoh! Kau pikir aku senang berjalan tanpa tujuan? Para penyihir seperti aku hanya akan mampu mendeteksinya incarannya dalam radius 200 Kilo Meter.”
      Prajurit itu terdiam. Barangkali ia takut kalau mesti di sihir jadi tupai oleh Tadana.
     “Menurutmu, berapa jauh jarak kita dengannya?” Tanya Senopati Tarkas.
    “Tidak terlalu jauh.” Sahut Tadana penuh keyakinan. “Tidak lebih dari 50 Kilo Meter.”
    “Siapa yang bisa melihat ini selain kau?” Tanya Gama.
    “Arni!”
    Penyihir jangkung yang memakai sorban kusam berwarna cokelat tebal yang dari tadi diam kali ini mengangguk. “Masalahnya, penglihatanku tak setajam Tadana.”
    “Tak masalah!“ Ucap Gama Tersenyum penuh harapan. “Kita berpencar 6 orang ikut Tadana, dan 6 orang lain ikut Arni! Nanti malam kita berkumpul di tempat ini lagi.”
     Akhirnya mereka berpencar. Mereka membagi diri menjadi 2 kelompok. Kelompok pertama dipimpin Tadana dan anggotanya adalah Gama, satu penyihir muda berhidung bengkok, dua orang peramal, dan 2 orang prajurit. Sedangkan kelompok kedua dipimpin oleh Arni, dan anggotanya adalah Senopati Tarkas, Samira, sang penjelajah bernama Dahup, sorang peramal yang tak pernah lepas dari balsem beraroma kemenyan, seorang panglima perang bernama Markus, dan juga Nonda, prajurit bertubuh tegap namun bermata sipit.

      Pencarian itu tampaknya adalah salah satu hari-hari terburuk dan paling menyebabkan dalam hidup mereka. Setelah seharian menyusuri jalan-jalan kota Palangka raya, dengan harapan yang memenuhi ubun-ubun mereka. Namun, mereka akhirnya kembali berkumpul di tempat yang telah ditentukan sebelumnya, malam harinya.
       Samira menggerutu seperti petasan murahan yang bunyinya seperti ledakan bohlam yang di rendam dalam air. “Kau bilang dia tak jauh dari sini, Tadana. Tapi hebatnya kita tak menemukannya sampai saat ini.”
     “Kau tidak bisa begitu saja menyalahkanku, Samira. Aku juga tak mengerti mengapa bau yang membuatku yakin lenyap begitu saja. Kau juga merasakannya, khan, Arni?”
Arni mengangguk yang gerakannya lebih mirip menahan kantuk.
        “Apa yang kita lakukan selanjutnya ini?” Panglima Perang Markus tampak tak bersemangat.
Senopati Tarkas mengusir nyamuk yang mencoba hinggap di hidungnya, “Sebaiknya kita istirahat dulu. Banyak perbedaan yang terjadi apabila kita memutuskan suatu hal yang cukup penting ketika memikirkannya dalam keadaan yang letih dengan keadaan yang lebih segar.”
      “Jujur. Aku sebenarnya masih bersemangat untuk menjelajahi kota ini.” Timpal Dahup.
      “Seperti kata Gusti Senopati. Kita pergunakan waktu ini untuk beristirahat. Dan kupikir semuanya setuju.” Putus Gama yang sepertinya ditunjuk menjadi pemimpin rombongan. Mungkin karena ia adalah ahli geografi yang cukup berpengalaman menilik usianya yang baru 28 tahun.
     Anggota lain tampaknya tak ada yang punya pendapat berbeda. Termasuk Samira yang kali ini telah menyulut rokoknya sambil memejamkan matanya. Dahup tampak tak terlalu puas dengan keputusan Gama, ia lebih memilih membaca peta kota Palangka Raya yang dipinjamnya dari Gama sambil sesekali melirik Samira yang dengan santai tidur sambil merokok, mungkin Dahup sedikit membayangkan ketika rokok itu secara menyenangkan membakar sedikit mulut Samira yang tampaknya tak akan terjadi. Sihir tentunya menjadi alasan utama.
     Seluruh anggota rombongan tampaknya mulai beristirahat dengan caranya masing-masing. Kecuali Tadana yang lebih memilih berdiri di pinggir jalan dan menatap jauh ke depan, berharap mampu menerawang rahasia alam tentang keberadaan Ganendra Abimana.
      Dalam hati Tadana berdo’a pada leluhurnya, “Tolong bantu kami., tunjukkan kami suatu tanda yang memudahkan kami.”
       Dalam 10 menit tak ada suatu hal ajaib pun yang terjadi. 11 menit, 12 menit, 13 menit, hingga 15 menit.
     Tadana menatap langit malam dengan wajah yang sama sekali jelek, “Bahkan para leluhurku pun kadang-kadang sangat menyebalkan.”
     Tadana membalikkan badannya. Tak ada alasan lagi selain beristirahat sambil memikirkan beberapa doa yang cukup bagus di dengar oleh leluhurnya untuk dikabulkan. Baru saja beberapa langkah ia berjalan ke arah pos, tiba-tiba ada kilauan redup cahaya yang masih bisa ditangkapnya. Cahaya itu sempat menyapu kemeja ungunya yang sampai saat ini masih terkancing sampai leher. Cahaya itu tampaknya bersumber di ujung jalan. Tempat yang ia awasi tak kurang dari 16 menit yang lalu. Tadana membalikkan kembali tubuhnya ke arah jalan.
        Cahaya redup itu berangsur-angsur mulai membesar dan semakin terang. Cahaya berwarna biru yang sekarang telah memekakkan mata yang mencoba menembusnya. Tadana sedikit melindungi matanya dengan tangannya. Cahaya itu hanya sebentar saja seterang itu  kemudian berangsur-angsur meredup kembali dan mengecil. Dan membentuk sesosok yang familiar namun tak wajar. Berwarna biru dengan cahaya tidak terlalu terang dan tidak terlalu redup di sekelilingnya.
     Tadana beberapa saat takjub, kemudian baru menyadari keterperanjatannya dengan desis hampir tak percaya, “Gahyaka!”
      “Teman-teman, bangun semuanya! Ayo cepat!”
     Tadana berlari menghampiri teman-teman rombongannya yang telah tertidur. Membangunkan mereka. sebagian dari mereka bangun dengan ikhlas dan penuh perhatian, namun ada beberapa yang bangun dengan pandangan mengerikan kepada Tadana. Namun sepertinya Tadana tak memperhatikan itu. Ia menunjuk-nunjuk ke arah jalan.
      “Leluhurku menolong kita! Di sana ada Gahyaka!”
      Seluruh anggota rombongan bangun dengan tergesa-gesa dan mengikuti arah lari Tadana yang begitu bersemangat kecuali Samira yang sibuk memadamkan api dari rokok yang berhasil dengan cemerlang membakar sabuk kesayangannya.
      “Luar biasa.” Decak beberapa dari mereka.
     Sementara yang lain tak mampu berkata apa-apa. Lidah mereka terkunci rapat ketika menyaksikan sang Gahyaka, rusa bersayap yang bercahaya begitu mengagumkan yang kini sedang asyik mengais-ngais tanah sambil berlenggak lenggok begitu cantik.
     “Ini betul-betul keajaiban. Aku rela menukar seluruh catatan penjelajahanku untuk menyentuh makhluk itu.” Harap Dahup sambil melangkah menghampiri sang Gahyaka yang sangat tenang bermain dengan rumput dan tumbuhan liar di sisinya.
       “Jangan! Jangan mendekatinya dalam jarak lima meter apalagi menyentuhnya apabila kau tidak ingin terbakar dan ia akan lenyap begitu saja. Kau akan menyesal sepanjang umurmu untuk itu.” Sergah Tadana yang pandangan matanya tak pernag lepas dari makhluk mengagumkan itu sambil tangan kananya berusaha menghalangi tubuh Dahup yang bermaksud menghampiri sang Gahyaka. Padahal Dahup berada cukup jauh dari tempat Tadana berdiri. Namun tak ada yang mempermasalahkan itu.
      Dahup mengurungkan niatnya namun tampak masih bernafsu dengan makhluk itu. “Berbahaya sekali tampaknya. Namun semakin menambah kecantikannya.”
      Samira telah bergabung dengan teman-temannya setelah urusannya dengan api rokoknya selesai dan meninggalkan sebuah lubang  sebesar jempol di sabuknya. “Waw! Peliharaan dewa rupanya. Aku sendiri tak pernah melihat mkhluk ini sebelumnya.”
      “Oke. Kita punya banyak waktu untuk mengagumi makhluk ini di lain waktu. Apa arti dari kunjungan mendadak ini?” Gama mewakili keingintahuan anggota lainnya.
       “Gahyaka adalah hewan peliharaan dewa. Kedatangannya ke sini tentunya membawa sesuatu yang penting.” Jawab Samira.
          Nonda tak sekalipun mengalihkan pandangannya dari Gahyaka. “Tepatnya?”
       “Sepertinya ia membawa suatu tanda tentang keberadaan orang yang kita cari.” Kali ini Tadana yang menjawab.
       “Bagaimana caranya?”
    Tadana mengambill sebuah batu seukuran genggaman tangan anak kecil. “Pastikan kalian memperhatikannya, kalau ia terbang, kita harus segera mengakhiri pencarian ini karena tak ada gunanya. Tapi apabila ia berlari, persiapkan nafas kalian. Rusa ajaib ini punya kecepatan lari yang menyusahkan kita untuk mengikutinya.”
     Tadana lalu melemparkan batu tersebut ke dekat kaki Sang Gahyaka. Makhluk itu kaget. Dan memandang sekelompok orang yang mematung menatapnya dengan ketegangan yang cukup bisa dipertanggung jawabkan. Gahyaka tersebut mengeluarkan suara layaknya rusa pada umunya, cahaya di sekelilingnya berpendar makin terang. Gahyaka tersebut berjalan pelan mengitari tempatnya berdiri selama beberapa kali. Kemudian lari mengeluarkan suara rusanya lagi.
      “Sekarang apa?” Desak Dahup gugup, begitu pula yang lainnya.
     “Apa! Pasang kuping kalian baik-baik dan belajarlah mengendalikan penglihatan kalian dalam gelap ketika berlari kencang! Kejar!” Komando Tadana. Dan serentak mereka berlari mengejar Gahyaka tersebut.
      Ada satu kabar baik dan kabat buruk yang mereka dapatkan dari Gahyaka tersebut. Kabar baiknya adalah mereka dliputi harapan besar untuk segera menemukan Ganendra Abimana yang telah mereka cari selama berminggu-minggu. Sedangkan kabar buruknya adalah, Gahyaka tersebut menyeret mereka berlari di padang pakis yang rimbun dan lumayan tinggi di pinggir jalan kota Palangka Raya yang sepi dan gelap.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar